[Al Islam
616] Marhaban ya
Ramadhan. Bulan yang penuh berkah, yang di dalamnya terdapat satu malam yang
lebih baik dari seribu bulan. Bulan yang telah Allah SWT jadikan didalamnya
puasa sebagai fardhu dan shalat malamnya sebagai tathawwu’. Bulan yang siapa
saja mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan melakukan kebajikan, samalah ia
mengerjakan fardhu di bulan yang lain; dan barang siapa melakukan fardhu,
samalah ia dengan mengerjakan tujuh puluh fardhu di bulan lain. Bulan yang
Allah tebarkan di dalamnya beragam kebaikan. Sungguh merugi seorang muslim yang
menyia-nyiakan beragam amalan selama Ramadhan tiba.
Puasa
Sebagai Perisai
Imam
ath-Thabari dalam tafsirnya mengatakan bahwa puasa adalah; mencegah atau
menahan dari apa yang Allah perintahkan untuk menahan darinya -al-kaf ‘amma
amarallahu bil kaffi ‘anhu-(Tafsir ath-Thabari, iii/409). Dalam
berpuasa, seorang muslim diperintahkan oleh Allah SWT. untuk menahan diri dari
perkara-perkara yang membatalkan puasa semisal makan, minum, bersetubuh, juga
dari perkara yang merusak pahala puasa seperti marah, berkata kasar dan kotor,
berbuat keji, dsb.
Dengan
melaksanakan puasa seorang muslim hakikatnya telah membentengi dirinya dari
berbagai perbuatan keji dan mungkar. Nabi saw. bersabda:
« الصَّوْمُ
جُنَّةٌ مَا لَمْ يَخْرِقْهَا »
Puasa itu
adalah perisai selama ia (manusia) tidak melubanginya (HR. Ahmad).
Jika orang
menjalankan puasa dengan sebak-baiknya dengan segala amalan di dalamnya, maka
puasa itu akan benar-benar menjadi perisai baginya di akhirat kelak. Yaitu
Allah jadikan pahalanya sebagai perisai dari api neraka. Nabi saw bersabda:
« الصِّيَامُ
جُنَّةٌ مِنَ النَّارِ، كَجُنَّةِ أَحَدِكُمْ مِنَ الْقِتَالِ »
Puasa itu
adalah perisai dari api neraka, seperti perisai seseorang dari kalian dari
serangan musuh. (HR.
An-Nasai, Ibnu Majah)
Ibadah Tapi
Sekuler
Karenanya
sudah saatnya kaum muslimin merenung, apakah Ramadhan demi Ramadhan yang
dilewati telah dijalankan dengan shaum sebagaimana mestinya? Apakah kaum
muslimin benar-benar telah menahan diri dari berbagai perkara yang dapat
mengantarkan datangnya azab Allah? Ataukah sebaliknya?
Sungguh bila
kita dengan jujur melakukan introspeksi maka ibadah puasa yang selama ini
dijalankan masih banyak baru sebatas menahan diri dari lapar dan haus. Tapi
belum melaksanakan secara penuh apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang
dilarang oleh Allah SWT. Sementara itulah hakikat takwa yang menjadi hikmah
yang harus serius kita wujudkan melalui puasa kita.
Menjelang
dan selama Ramadhan tempat-tempat hiburan malam dan tempat-tempat yang menebar
kemaksiatan dilarang beroperasi, tetapi boleh buka kembali pasca Ramadhan.
Seolah-olah haramnya kemaksiatan hanya berlaku selama Ramadhan.
Acara-acara
televisi selama Ramadhan serentak menayangkan berbagai acara-acara keislaman
dengan beragam variasi. Itupun selalu berbau komersil dan sering diwarnai
adegan-adegan yang jauh dari nilai Islam. Sehingga justru meminggirkan
pesan-pesan keislaman dalam acara tersebut.
Ramadhan tahun
lalu, pihak Kementerian Agama dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berulangkali
menegur sejumlah televisi swasta yang melanggar etika penyiaran. Banyolan yang
tidak pantas hingga artis bergaya waria kerap mewarnai beragam acara selama
Ramadhan. Bahkan ada saja juru dakwah yang ikut berpartisipasi dalam
acara-acara seperti itu. Bila demikian, maka apa artinya Ramadhan?
Pantas bila
datangnya Ramadhan seperti tidak mengubah kondisi apapun di negeri ini. Korupsi
makin menggila. Bahkan menurut KPK para koruptor rata-rata adalah para pejabat
yang rajin beribadah. Bahkan mereka juga ada yang sudah mengantongi gelar
agama. “Solat tetapi korup dan tetap nekat korup,” kata Busryo Muqoddas
(detiknews. com, 18/6).
Tiap
Ramadhan selalu semarak dengan beragam kegiatan. Bahkan di luar Ramadhan pun
majlis wirid dan zikir bersama selalu dipadati banyak orang. Akan tetapi angka
korupsi tetap tinggi. “Ini merupakan spiritual laundering, lebih parah
dari pada money laundering,” tutur Busyro lagi. Para pelaku koruptor
merasa bahwa dengan wirid, zikir, naik haji, puasa Ramadhan, dan membayar zakat
maka sudah bisa membersihkan segala dosa mereka.
Selain kasus
korupsi, pergaulan bebas di kalangan remaja di tanah air pun sudah parah.
Berdasarkan penelitian dari Australian National University (ANU) dan Pusat
Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (UI) tahun 2010/2011 di Jakarta,
Tangerang dan Bekasi (Jatabek), dengan jumlah sampel 3006 responden (usia 17-24
tahun), menunjukkan 20.9 persen remaja mengalami kehamilan dan kelahiran
sebelum menikah. Dan 38,7 persen remaja mengalami kehamilan sebelum menikah dan
kelahiran setelah menikah. Padahal, bukankah mayoritas remaja Indonesia
beragama Islam?
Itulah
diantara wajah sekuler negeri ini. Meski negeri ini mayoritas muslim, akan tetapi
kehidupan diatur berlandaskan sekulerisme, yakni agama dipisahkan dari
kehidupan. Ajaran Islam hanya menjadi urusan ibadah yang sifatnya individual,
tidak berpengaruh pada kehidupan masyarakat dan negara. Sekulerisme
menghasilkan orang-orang yang bermental hipokrit; lain di ruang ibadah, lain di
ruang publik.
Kokohkan
Iman, Tegakkan Syariah dan Khilafah
Semestinya,
dengan mengerjakan puasa dengan benar, kaum muslimin akan terbimbing menuju
pribadi yang agung. Gemar beramar maruf nahi mungkar dan senantiasa bersemangat
untuk melaksanakan perintah Allah SWT. Ia akan menjalankan hukum-hukum Allah
tanpa pilah-pilih. Dan akan meninggalkan kemungkaran tanpa ditunda-tunda.
Kita semua
sering, apalagi selama Ramadhan, membaca firman Allah SWT:
]
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ[
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. al-Baqarah [2]: 183)
Dengan
Ibadah puasa, orang yang beriman diperintahkan untuk memproses dirinya agar
menjadi orang yang bertakwa dan makin bertakwa. Di dalam Jami’ ash-Shahih
al-Mukhtashar disebutkan bahwa takwa itu adalah rasa takut (al-khasyyah)
yang perwujudannya adalah menjaga diri dari apa yang dapat menyebabkan mendapat
siksa, berupa meninggalkan ketaatan atau mengerjakan kemaksiatan (Jami’
ash-Shahih al-Mukhtashar, i/7).
Sebagai
pangkal untuk mewujudkan ketakwaan itu, tentu saja keimanan harus dikokohkan.
Tauhid pun harus dimurnikan dari segala kesyirikan, apalagi kesyirikan
sistematis seperti yang dilakukan Bani Israel. Allah SWT berfirman:
] اتَّخَذُوا
أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ …[
Mereka
menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah
... (QS
at-Tawbah [9]: 31)
Tatkala Nabi
membaca ayat tersebut, Adi Bin Hatim menimpali: “ya Rasulullah mereka tidak
menyembah para alim dan rahib mereka”. Nabi menjawab:
« بَلَى،
إِنَّهُمْ حَرَّمُوْا عَلَيْهِمْ الْحَلاَلَ، وَأَحَلُّوْا لَهُمْ الْحَرَامَ،
فَاتَّبِعُوْهُمْ، فَذَلِكَ عِبَادَتُهُمْ إِيَاهُمْ »
Ya, mereka
(orang-orang laim dan para rahib) mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang
haram lalu mereka mengikuti mereka, maka itulah ibadah (penyembahan) mereka
kepada orang-orang laim dan para rahib (HR Ahmad dan Tirmidzi)
Kesyirikan
yang dilakukan Bani Israel dahulu adalah menyerahkan penentuan halal dan haram
yakni pembuatan hukum kepada orang-orang alim dan para rahib menurut akal da
hawa nafsu mereka. Dan kesyirikan itu jugalah yang diajarkan oleh demokrasi
dalam bentuk kedaulatan rakyat dengan menyerahkan pembuatan hukum kepada
wakil-wakil rakyat. Karena itu, Ramadhan ini hendaknya dijadikan bulan
mengokohkan iman, memurnikan tauhid, mencampakkan sekulerisme dan membuang
kesyirikan yang menjadi inti demokrasi itu.
Sekaligus
hendaknya Ramadhan ini dijadikan momentum mewujudkan hikmah puasa, yaitu
ketakwaan yang bisa jadi terlewatkan dan belum sempurna diwujudkan pada
Ramadhan-Ramadhan lalu. Dan hakikat ketakwaan adalah melaksanakan
perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Perintah dan
larangan Allah itu merupakan hukum-hukum halal haram yang harus kita pedomani
dan laksanakan baik terkait individu, keluarga atau kemasyarakatan, dalam
masalah akidah, ibadah, makanan, pakaian, minuman, akhlak, ekonomi,
pemerintahan, tata pergaulan, politik dalam dan luar negeri dan sebagainya.
Semua itu termaktub dalam syariah Islam. Karena itu mewujudkan ketakwaan secara
sempurna tidak lain adalah dengan menerapkan Syariah Islam secara utuh dan
total, Hal itu tentu saja tidak bisa terwujud kecuali dalam bingkai Sistem
Pemerintahan Islam yang menerapkan syariah yaitu dalam bingkai al-Khilafah
ar-Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah.
Wahai Kaum
Muslimin
Saatnya
Ramadhan kali ini kita jadikan bulan mengokohkan iman dan memurnikan tauhid
dengan mencampakkan sekulerisme dan membuang demokrasi yang mengajarkan
kesyirikan menjadikan manusia sebagia Tuhan-tuhan selain Allah. Saatnya pula
Ramadhan kali ini kita jadikan titik tolak untuk mewujudkan ketakwaan paripurna
dengan menerapkan syariah Islam dalam bingkai Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj
an-Nubuwwah. Dengan itu keberkahan pun akan dilimpahkan kepada kita sebagaimana
janji Allah SWT:
] وَلَوْ أَنَّ
أَهْلَ الْقُرَى ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ
السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا
يَكْسِبُونَ[
Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya. (QS.
al-A'raf [7]: 96).
Wallâh a’lam bi ash-shawâb.
[]
Sumber bacaan : http://hizbut-tahrir.or.id/2012/07/18/ramadhan-singkirkan-sekulerisme-tegakkan-ketakwaan/
0 komentar:
Posting Komentar